Meritagehighlands.com – Banjir yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tidak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem dari siklon tropis Senyar 95B, tetapi juga mencerminkan masalah tata kelola lingkungan yang buruk. Keberadaan lebih dari seribu gelondongan kayu dan hewan langka menjadi sorotan utama bencana tersebut.
Banjir paling parah terjadi di Pidie Jaya, Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tamiang di Aceh, serta Sibolga, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan di Sumut, serta Agam, Pesisir Selatan, dan Padang Pariaman di Sumbar. Korban yang paling parah adalah masyarakat pedalaman yang terjebak dalam banjir bandang dan tanah longsor, merusak rumah, fasilitas kesehatan, sekolah, dan tempat ibadah. Hingga 1 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 408 orang tewas, 349 hilang, dan 182.615 pengungsi.
Mayoritas korban adalah masyarakat adat dan petani yang tak memiliki akses terhadap kebijakan. Mereka digambarkan sebagai korban ‘pembantaian lingkungan’ yang tak mendapatkan perhatian memadai. Sejarawan Immanuel Kreike mengkritik, mereka telah kehilangan sumber mata pencaharian akibat kerusakan infrastruktur lingkungan.
Banjir ini dianggap sebagai ‘transkrip tersembunyi’ dari dominasi kekuasaan yang terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam. Aktivitas perlindungan lingkungan yang selama ini diabaikan, memberikan dampak luas terhadap ekosistem yang berperan penting bagi masyarakat.
Pascabencana, tanggap darurat sangat diperlukan untuk memastikan bantuan cepat mencapai wilayah terdampak, bahkan di area yang terisolasi. Banyak lokasi masih kesulitan mendapatkan bantuan, dengan infrastruktur yang rusak dan pemadaman listrik berlarut-larut. Narasi penderitaan masyarakat ini harus diperhatikan, dan Presiden Prabowo Subianto diharapkan untuk menyikapi situasi ini sebagai bencana nasional guna mengurangi dampak di masa depan.